Oleh Akhuukum Fillaah :
*Abu Hashif Wahyudin Al-Bimawi*
بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Orang-orang beriman adalah bagian dari kebaikan dunia. Kehadirannya merupakan satu diantara rahmat Allah bagi manusia dan makhluk yang lain. Itu karena orang-orang beriman senantiasa menebar kebaikan, berbuat amal shaleh dan melakukan kerja-kerja kemaslahatan. Oleh karena itu, Allah menjanjikan banyak keutamaan bagi orang-orang beriman. Diantaranya:
1. Pahala yang besar
“Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (Annisa: 146)
Pada ayat ini, Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang-orang yang beriman, kelak di akhirat. Pahala yang Allah gambarkan tidak ada satu mata pun yang pernah melihatnya, tidak ada satu telinga pun yang pernah mendengarnya dan tidak pernah terlintas sedikit pun dalam hati manusia.
Saat mendapatkan pahala itulah orang-orang beriman kelak beristirahat dari perjuangannya selama di dunia. Lelah beribadah dan letih ketika bersabar mempertahankan ketaatan, ia petik hasilnya dengan keuntungan yang melimpah.
2. Pembelaan dan Pertolongan
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman” (Al-Hajj: 38)
Ayat ini adalah kabar gembira, janji kebaikan bagi orang-orang yang beriman dengan iman yang sungguh-sungguh. Mereka akan ditolong, dibela dan dijaga oleh Allah dari berbagai keburukan. Mereka dijaga dari kejahatan orang-orang kafir, dari bisikan dan tipu daya setan, dari keburukan diri-diri mereka sendiri dan kejelekan amal-amalnya. Kesulitan yang menimpanya akan Allah ringankan dan setiap masalah yang melilitnya akan Allah berikan solusinya.
3. Istighfar malaikat
“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala.” (Ghafir: 7).
Ayat ini mengabarkan bahwa para malaikat senantiasa beristigfar untuk orang-orang yang beriman. Ini adalah salah satu keutamaan dan faedah iman. Seorang mukmin, dengan keimanan yang dimilikinya, mendapat salah satu diantara sebab kebahagian di akhirat, yaitu ampunan yang diperolehnya dari doa para malaikat Allah yang mulia.
4. Kasih sayang
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Maryam: 96)
Keimanan memang indah. Rasa sayang dan cinta kasih yang sejati hanya ada pada iman. Itu karena Allah hanya meridhoi orang-orang beriman, yang dengan sebab itu, Allah turunkan ragam kasih sayang kepada mereka. Mereka akan selalu mencintai Allah dan Allah pun mencintai dan menyayangi mereka. Begitu pun para penduduk langit dan orang-orang shaleh di bumi akan mencintai mereka. Karena siapapun yang dicintai Allah, maka ia akan dicintai makhluk-makhluk-Nya.
Sedekah merupakan bukti keimanan
Hal ini ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dengan sabdanya :
“Sedekah adalah burhan (bukti keimanan)” (Hadis Riwayat Muslim).
Sedekah memang lahir dari semangat iman yang mengakar dengan kokoh pada hati seseorang. Kebaikan iman-lah yang memunculkan keinginannya untuk bersedekah. Karena, hanya orang-orang beriman yang meyakini bahwa sedekah mengandung nilai kebaikan yang sangat tinggi.
Pantas jika selalu ada kisah kesejatian iman pada orang-orang yang rajin bersedekah. Kerelaannya berbuat untuk orang lain dengan sedekahnya adalah wujud kepahlawanan yang mengharukan. Kesucian jiwanya tampak jelas dalam karakter kedermawanan yang tulus, kesediaan membantu orang lain dan kesiapan menolong agamanya dengan harta yang dimilikinya.
Definisi Sedekah
Al-Jurjani berkata, “Sedekah adalah pemberian yang diharapkan dengannya pahala dari Allah ‘Azza wa Jalla”. Raghib Al-Ashfahani mendefinisikan sedekah sebagai, “Sesuatu yang manusia keluarkan dari hartanya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah seperti zakat. Akan tetapi sedekah secara asal dipakai untuk yang sunnah sedangkan zakat untuk yang wajib.”
Istilah lain untuk kata sedekah adalah ‘infak’. Dalam bahasa syariat, infak lebih bersifat umum. Infak biasa dipakai untuk yang bersifat wajib, yaitu zakat atau yang bersifat sunnah, yaitu sedekah. Intinya, sedekah atau infak dalam istilah khusus adalah pemberian berupa harta dengan maksud mencari ridha Allah. Walaupun secara umum, cakupan sedekah lebih luas, yaitu segala bentuk kebaikan, baik dilakukan dengan harta atau tidak, baik kemanfaatannya kembali kepada orang lain atau kepada diri sendiri. Sesuai sabda Nabi, “Setiap yang makruf itu adalah sedekah.” (Hadis Riwayat Muslim) Sesuai juga dengan penjelasan Nabi untuk sekelompok sahabat yang datang mengadu kepadanya pada hadis yang telah lalu.
Syarat Sedekah
Allah ta’ala berfirman :
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Al-Baqarah: 245)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah ketika mengomentari ayat ini mengatakan bahwa qordhon hasanan (pinjaman yang baik) adalah sedekah atau infak yang terpelihara syarat-syarat kebaikannya, yaitu:
~ Pertama, harta yang disedekahkan harus harta yang baik, baik dari sisi dzatnya, atau dari cara mendapatkannya; bukan harta yang buruk atau haram. Ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, “Sesungguhnya Allah itu Mahabaik, dan tidak menerima kecuali yang baik” (Hadis Riwayat Muslim)
~ Kedua, sedekah dilakukan dengan kerelaan hati, tanpa paksaan dan betul-betul mengharapkan darinya keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang bersedekah bukan karena Allah, sedekahnya sama sekali tidak akan bermanfaat baginya. Bahkan kelak di hari kiamat, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam kabarkan bahwa ada tiga orang yang pertama kali akan disidang. Orang yang ketiganya adalah orang yang rajin bersedekah. Ketika ia mengaku di hadapan Allah bahwa ia bersedekah karena Allah, Allah dustakan ia karena sesungguhnya ia bersedekah agar dikatakan sebagai orang dermawan. Akhirnya ia diseret dan dilemparkan ke neraka (Hadis Riwayat Muslim)
~ Ketiga, tidak menyebut-menyebut dan menyakiti penerima sedekah. Sesuai dengan firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 264)
Syarat pertama terkait dengan harta sedekah, syarat kedua terkait dengan hubungan antara pemberi sedekah dengan Allah dan syarat ketiga terkait dengan hubungan antara pemberi sedekah dan penerimanya.
Keutamaan sedekah
Keutamaan sedekah sangat banyak. Ayat dan hadis yang menerangkan tentang keuatamaannya hampir tidak terhitung jumlahnya. Diantara adalah:
1. Pelipatgandaan pahala
Firman Allah ta’ala :
“Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul- Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Al-Hadid: 18)
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersedekah dengan sesuatu sebesar satu buah kurma dari usahanya yang baik –dan Allah tidak menerima kecuali yang baik- maka Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, kemudian Allah akan menumbuhkan sedekahnya itu bagi pemberinya, seperti seseorang diantara kalian menumbuhkan kuda piaraannya, hingga sebesar gunung.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
2. Menghapus dosa
Firman Allah ta’ala,
“Kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (At-Taghabun: 17)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya sedekah akan memadamkan kemurkaan Allah dan mencegah kematian yang buruk.” (Hadis Riwayat At-Tirmidzi)
Rasulullah juga bersabda, “…Dan sedekah dapat menghapus kesalahan seperti air memadamkan api.” (Hadis Riwayat At-Tirmidzi)
3. Mendapat Naungan Allah
Rasulullah bersabda, “Tujuh orang yang akan mendapat naungan Allah pada hari kiamat, ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya…” dinataranya, “orang yang bersedekah, lalu ia menyembunyikannya, hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya.” (Hadis Riwayat Bukhari Muslim)
4. Menyelematkan dari siksa neraka
Rasulullah bersabda, “Bertakwallah kalian walaupun hanya dengan sepotong kurma!” (Hadis Riwayat Bukhari Muslim)
Rasulullah pernah berkhutbah pada hari Ied untuk para wanita, “Wahai para wanita! Bersedekahlah kalian walaupun dengan perhiasan kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian adalah penghuni neraka yang paling banyak.” (Hadis Riwayat Bukhari)
5. Mendapat ganti
Rasulullah bersabda, “Tidaklah datang satu hari kepada hamba-hamba Allah kecuali ada dua malaikat yang turun, salah satunya berdo’a, “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfak hari ini.” Dan yang satunya lagi juga berdo’a, “Ya Allah, timpakanlah kehancuran kepada orang yang menahan hartanya.” (Hadis Riwayat Bukhari Muslim)
Sedekah para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum
Spirit bersedekah telah ada begitu kuat sejak periode orang-orang beriman terdahulu. Sedekah telah menjadi ajang persaingan yang cukup ketat pada orang-orang beriman generasi pertama umat ini. Mereka berlomba mengumpulkan pundi-pundi pahala melalui jalan bersedekah.
Dari Mundzir bin Jarir, bapaknya mengisahkan, “Pada suatu pagi kami berada dekat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Tiba-tiba datang sekelompok orang bertelanjang kaki dengan pakaian selembar kain yang diselimutkan ke badan mereka sambil menyandang pedang. Kebanyakan mereka, bahkan seluruhnya berasal dari suku Mudhar. Ketika Rasulullah melihat kemiskinan mereka, wajahnya terlihat begitu terharu. Kemudian beliau masuk rumah dan keluar lagi. Beliau memerintahkan Bilal untuk adzan dan iqamah lalu beliau shalat. Setelah shalat beliau berkhutbah, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Mendengar Khutbah Nabi tersebut serta merta seorang laki-laki menyedekahkan uangnya, pakaiannya, segantang gandum dan segantang kurma, hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(bertakwalah kalian) sekalipun dengan sepotong kurma”. Lalu datang seorang laki-laki Anshar membawa sebuah kantong yang hampir tidak tergenggam oleh tangannya, bahkan tidak terangkat. Demikianlah, akhirnya orang-orang pun ikut bersedekah, sehingga aku melihat terkumpul dua tumpuk makanan dan pakaian, sehingga aku melihat wajah Rasulullah berseri-seri bak bersepuh emas. Nabi kemudian bersabda, “Barangsiapa mengerjakan pekerjaan baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa mengerjakan pekerjaan buruk, maka ia mendapat dosanya, ditambah dosa orang-orang yang mencontohnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (Hadis Riwayat Muslim)
Sebagian mereka bahkan bersedih dan kecewa jika dirinya tidak memiliki kemampuan untuk bersedekah karena keterbatasannya.
Abu Dzar Al-Ghifari mengisahkan, “Beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada beliau seraya berkata, “Wahai Rasulullah! Orang-orang berharta telah mendapatkan banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami pun shalat, mereka shaum sebagaimana kami pun shaum, akan tetapi mereka mampu bersedekah dengan kelebihan harta yang mereka miliki.”
Rasulullah kemudian bersabda, “Bukankah Allah telah memberikan sesuatu yang dengannya kalian bisa juga bersedekah!? Sesunggguhnya dalam setiap tasbih ada sedekah, dalam setiap tahmid ada sedekah, dalam setiap takbir ada sedekah, dalam setiap tahlil ada sedekah, memerintahkan kepada yang makruf adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah dan pada daging yang ada pada kalian ada sedekah (kiasan untuk jima)” mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah seseorang mendapat pahala saat ia justru melampiaskan syahwatnya? Beliau menjawab, “Bukankah ia mendapat dosa jika ia melakukannnya pada yang haram (berzina)? Maka, ia pun mendapat pahala jika ia melakukannya pada yang halal. (Hadis Riwayat Muslim)
Begitulah para sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Mereka kerap iri kepada saudaranya yang berkecukupan, sebab mereka tidak berdaya beramal kebaikan seperti yang mampu dilakukan oleh saudaranya dengan harta mereka. Hingga hal ini mendorong mereka untuk mengadu kepada baginda Nabi.
Mereka mengadu, bukan karena mereka senggara dengan kemiskinan yang tengah mereka alami. Bukan karena kesulitan makanan dan minuman. Bukan semata-mata karena kehidupan mereka yang serba berkekurangan. Tapi, mereka mengadu karena sesuatu yang mereka yakini sebagai sebuah kemuliaan dan keutamaan yang hakiki. Mereka merasa dirugikan saat orang lain mendapat kemulian itu sementara mereka tidak mendapatkannya.
Allah juga mengisahkan dalam Al-Quran bagaimana sedihnya orang-orang yang datang kepada Nabi agar Nabi menyediakan tunggangan yang bisa memberangkatkan mereka untuk turut berjihad. Namun Nabi mengatakan kepada mereka bahwa beliau tidak memilikinya. Allah berfirman,
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan” (At-Taubah: 92)
Kehebatan iman dan kekuatan ibadah para sahabat memang tidak pernah terdandingi oleh orang-orang yang datang setelah mereka. Bukti kehebatan iman mereka ini tampak sangat jelas, sejelas cahaya matahari, saat mereka kerap mampu menekan kecintaan mereka terhadap apapun yang mereka miliki, agar tidak melebihi kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Hingga mereka pun mampu bersedekah dengan harta yang paling dicintainya.
Anas bin Malik mengisahkan, “Dahulu Abu Thalhah adalah orang Anshar di Madinah yang paling banyak harta kebun kurmanya. Kebun yang paling dicintainya adalah “Bairuha”, kebun itu ada di depan masjid yang Nabi selalu memasukinya untuk minum airnya yang bagus.” Anas mengisahkan, “ketika turun ayat “Kalian tidak akan memperoleh kebaikan hingga kalian menginfakkan sesuatu yang kalian cintai” Abu Thalhah bangkit dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Allah berfirman, “Kalian tidak akan memperoleh kebaikan hingga kalian menginfakkan sesuatu yang kalian cintai” sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah “Bairuha”, harta itu aku sedekahkan di jalan Allah, aku harapkan kebaikan dan pahalanya di sisi Allah, berikanlah wahai Rasulullah sebagaimana Allah perlihatkan kepada engkau. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam kemudian bersabda, “ow itu harta yang baik, aku telah mendengar apa yang kamu katakan. Menurutku engkau berikan saja harta itu kepada kerabat-kerabatmu” Abu Thalhah berkata, “Aku akan melakukannya wahai Rasulullah” lalu ia bergegas membagikan harta itu kepada kerabat-kerabatnya dan anak-anak pamannya” (Hadis Riwayat Bukhari)
Kisah sedekah para sahabat begitu bertaburan. Kepedulian mereka terhadap agamanya, yang mereka wujudkan dengan bersedekah sungguh sangat menakjubkan. Abu Bakar as-Shiddiq, sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang paling mulia, bahkan rela menyedekahkan seluruh hartanya. Saat ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, “apa yang engkau tinggalkan bagi keluargamu”, dengan yakin beliau menjawab, “aku tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.” (Hadis Riwayat Abu Dawud)
Cinta Harta dan Sedekah
Manusia diciptakan dengan kecenderungan mencintai harta benda. Semua manusia memiliki kecenderungan ini. Allah berfirman,
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Al-Fajr: 20)
“Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada harta” (Al-‘Adhiyat:8)
Allah-lah yang telah mewahyukan kecintaan ini kepada seluruh manusia untuk hikmah tertentu, yaitu agar Allah menguji manusia. Dengan demikian, tidak ada manusia yang tidak mencintai hartanya. Orang-orang beriman yang rajin bersedekah pun, bukan orang-orang yang tidak mencintai hartanya. Orang-orang yang rajin bersedekah adalah orang yang mampu menekan kecintaan itu sehingga tidak melebihi batasnya.
Itulah sesungguhnya yang terjadi pada mereka. Kisah Abu Thalhah diatas menggambar kepada kita bagaimana kondisi hati Abu Thalhah saat ia menyedekahkan hartanya itu. Ia menyadari bahwa harta yang akan ia sedekahkan tersebut adalah harta yang sebetulnya sangat ia cintai. Akan tetapi, karena seruan Allah lebih ingin ia dengarkan dari pada seruan perasaan yang ada dalam hatinya, ia rela berbuat kemuliaan tersebut.
Perhatikan firman Allah berikut ini,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta…” (Al-Baqarah: 177)
“Dan mereka memberikan makanan yang dicintainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (Al-Insan:8)
Jadi, para pensedekah itu tetap mencintai hartanya. Namun, kerelaan hatinya lebih besar, imannya lebih kuat, cita-citanya lebih tinggi, kegembiraannya saat orang lain ikut berbahagia lebih menyenangkan baginya dan kedigdayaan agamanya lebih diharapkan olehnya. Ia tidak segan berkorban. Bukan hanya dengan hartanya, jiwanya pun selalu siap ia korbankan untuk meraih kemuliaan itu.
Allah juga berfirman,
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (At-Taghabun: 16-17)
Sedekah yang dilakukan dalam kondisi hati sangat terpaut dengan harta, dengan faktor-faktor yang membuat seseorang menjadi kikir, ternyata memiliki nilai tersendiri. Perhatikan sabda Nabi berikut ini,
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam seraya bertanya, “Wahai Rasulullah! Sedekah seperti apakah yang paling besar pahalanya? Beliau lalu menjawab, “Kamu bersedekah dalam kondisi sehat dan kikir, takut miskin dan mengangankan kekayaan. Jangalah kamu menyepelekan, hingga ketika nyawa sudah berada di kerongkongan, kamu baru mengatakan, “bagi si fulan bagiannya segini dan segitu”, padahal harta tersebut sudah milik orang lain.” (Hadis Riwayat Bukhari Muslim)
Begitu pun dengan harta benda, harta tidak tercela karena dzatnya. Allah dalam Al-Quran justru membahasakannya sebagai “khair”, yang artinya kebaikan. Seperti dalam firman Allah,
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan Khairan (harta) yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 180)
Sedekah adalah salah satu manfaat dan kebaikan harta. Banyak jenis ibadah yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan harta. Keterbatasan dalam harta bisa menjadi keterbatasan dalam beribadah. Pada kisah para sahabat yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tadi, dalam riwayat lain dikisahkan, setelah para sahabat mendapat penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tentang sedekah dengan selain harta, mereka kemudian pulang. Namun tidak lama kemudian, mereka datang lagi kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengatakan bahwa orang-orang berharta juga mendengar apa yang kami lakukan dan mereka pun mengamalkannya. Saat itu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam hanya bisa menjawab dengan firman Allah, “Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,” (Al-Maidah: 54) (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Walau demikian, manusia harus tetap berhati-hati. Allah sering mengingatkan, bahwa harta adalah fitnah. Daya tarik harta terlalu sering menjerumuskan manusia pada kemaksiatan, sikap takabbur dan prilaku melebihi batas. Sebagaimana dengan sebab harta manusia bisa beribadah, dengan sebab harta pula manusia bisa dengan mudah berbuat kemungkaran. Inilah diantara hikmah mengapa Allah membatasi rizki-Nya kepada sebagian manusia. Agar manusia tidak melakukan perbuatan melampaui batas. Allah berfirman,
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 27)
Dengan harta biasanya manusia menjadi orang yang suka bermewah-mewahan. Dan, Allah mengabarkan kepada kita bahwa orang-orang yang hidup mewahlah yang selalu menjadi penentang para utusan Allah.
“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Saba’: 34)
Sedekah dalam Jihad dan Dakwah
Sedekah termasuk diantara amal terbesar dalam Islam. Kedudukannya sangat strategis untuk tegaknya dakwah dan jihad Islam. Jihad dalam bentuk perang atau penegakkan hujjah serta penjelasan akan kuat jika didukung oleh kekuatan materi. Sumber kekuatan materi yang selama ini mendukung perjuangan Islam tidak lain adalah sedekah. Bersedekah untuk kepentingan jihad, dakwah dan ilmu memiliki nilai lebih besar daripada untuk kepentingan-kepentingan yang lain.
Semangat bersedekah di kalangan salafussaleh dahulu juga diantaranya didasari oleh kesadaran dan tanggungjawab mereka untuk memperjuangkan kemajuan jihad dan dakwah. Allah sering menyinggung tentang orang-orang yang berjihad di jalan-Nya dengan harta mereka. Dalam beberapa ayat, Allah menggandengkan harta dan jiwa sebagai modal perjuangan menegakkan syariat Allah. Karena, selain pasukan perang dalam jihad atau para ulama dalam dakwah, perjuangan ini juga membutuhkan modal materi. Perhatikan beberapa firman Allah berikut ini,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi.” (Al-Anfal: 72)
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (At-taubah: 20)
“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (At-taubah: 88)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
Ayat-ayat diatas menceritakan bagaimana para sahabat dahulu beriman, berhijrah dan berjihad dengan mengorbankan harta benda, ketika mereka ikut berperan dalam episode-episode penting perjuangan kaum muslimin paling awal bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Semangat itu tetap mereka pertahankan sampai paska meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Kerena kebaikan yang ada para mereka ini-lah kemudian Allah menurunkan keberkahan pada kaum muslimin.
Orang-orang istimewa yang terdidik dalam asuhan nubuwwah ini tercatat sangat berjasa bagi perkembangan dakwah Islam selanjutnya. Perluasan kekuasaan dan penyebaran Islam yang signifikan terjadi saat Islam berada dalam kendali para sahabat yang shaleh ini. Umat Islam begitu disegani. Cahaya Islam menjelajah berbagai negeri. Kegemilangan yang diraih dan kemajuan yang diperoleh mereka menempatkan kaum muslimin sebagai bangsa yang berwibawa dan paling berperadaban di mata bangsa yang lain.
Spirit para sahabat ini sangat penting untuk juga dihadirkan oleh kaum muslimin dewasa ini. Cita-cita perjuangan yang diinginkan bersama untuk tegaknya agama, tertanamnya akidah yang bersih, ibadah yang benar, sendi-sendi akhlak yang baik dan tersebarnya As-Sunnah, juga sangat perlu diupayakan melalui “kampanye” urgensi penggalangan dana dan penyalurannya kepada kegiatan-kegiatan yang berorientasi ilmu, dakwah dan jihad.
Sisi-sisi kebaikan yang berhubungan dengan bahasan sedekah sangat banyak. Beberapa sisi yang penulis goreskan dalam tulisan ini hanya sebagian kecil, yang penulis dapatkan dalam Al-Quran, Sunnah dan buku-buku para ulama yang telah banyak membahas terma ini.
Semoga apa yang telah kita dapatkan berupa ilmu dan pengetahuan tentang sedekah mampu menjadi pelecut dan penyemangat. Agar kita lebih tahu diri dan kian yakin, bahwa kebaikan sesungguhnya bukan apa yang kita miliki, namun apa yang telah kita berikan dan lakukan untuk kepentingan menolong agama Allah ini.
Terakhir, mari kita renungkan pesan Allah berikut ini,
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (Al-Munafiqun: 10-11)
Wallaahu A'lam Bish-Showwaab...
Wallaahu Waliyyut Taufiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar